Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.

Inversi Kenabian: Membaca Berita Besar dari Surat An-Naba'

Rabu, 19 Maret 2025 11:52 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Surat Annaba\x27
Iklan

Dalam tradisi kenabian Islam, wahyu selalu hadir sebagai pembawa kabar sekaligus pendobrak paradigma dominan zamannya.

Latar Belakang Historis Surat An-Naba'.

Surat An-Naba' (النبأ), yang berarti "Berita Besar", merupakan surat ke-78 dalam urutan mushaf Al-Qur'an. Termasuk dalam kelompok surat Makkiyah, surat ini diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad SAW di Makkah, sebelum hijrah ke Madinah. Pemahaman terhadap latar belakang historis surat ini penting dalam mengungkap signifikansi dan relevansinya dengan kondisi masyarakat pada masa itu.

Periode Pewahyuan

Para ulama tafsir sepakat bahwa Surat An-Naba' termasuk dalam kelompok surat Makkiyah awal, yang diturunkan ketika posisi Islam dan umat Muslim masih sangat rentan. Berdasarkan kronologi nuzul (urutan turunnya wahyu), surat ini diperkirakan turun setelah Surat Al-Ma'arij dan sebelum Surat An-Nazi'at. Dari 114 surat dalam Al-Qur'an, An-Naba' diperkirakan menjadi surat ke-80 yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sekitar tahun ke-5 atau ke-6 kenabian (sekitar 615-616 M).

Konteks Sosio-Historis

Masa pewahyuan Surat An-Naba' bertepatan dengan periode ketika masyarakat Quraisy Makkah sedang gigih menentang dakwah Nabi Muhammad SAW. Beberapa karakteristik konteks sosio-historis saat itu adalah:

  • Dominasi Materialisme dan Paganisme: Makkah saat itu merupakan pusat perdagangan penting yang menghubungkan jalur niaga antara Yaman dan Syam (Suriah). Kesuksesan ekonomi telah menghasilkan elit pedagang yang sangat materialistis. Kesejahteraan material menjadi ukuran utama status sosial, dan perhatian terhadap kehidupan akhirat sangat minimal. Ka'bah, yang semula dibangun sebagai pusat monoteisme Ibrahim, telah dipenuhi dengan sekitar 360 berhala.
  • Penolakan terhadap Konsep Kebangkitan: Salah satu aspek ajaran Islam yang paling ditentang oleh masyarakat Makkah adalah konsep kebangkitan setelah kematian (al-ba'th ba'd al-mawt). Mereka menganggap mustahil tulang-belulang yang telah hancur dapat dihidupkan kembali. Surat An-Naba' langsung menyentuh inti penolakan ini dengan menyebutnya sebagai "berita besar" yang mereka saling mempertanyakan.
  • Struktur Kekuasaan yang Terancam: Elit Quraisy melihat ajaran kesetaraan dalam Islam sebagai ancaman terhadap struktur hierarkis masyarakat yang memberikan mereka privilese. Ajaran tentang pertanggungjawaban di akhirat mengancam legitimasi akumulasi kekayaan tanpa batasan moral.
  • Penganiayaan terhadap Muslim: Pada periode ini, pengikut Nabi Muhammad SAW mengalami berbagai bentuk penganiayaan dan pemboikotan sosial. Beberapa sahabat telah hijrah ke Habasyah (Ethiopia) untuk mencari perlindungan, sementara yang lain bertahan di Makkah menghadapi tekanan.

Sebab Turun (Asbabun Nuzul)

Tidak ada riwayat spesifik (asbabun nuzul khusus) mengenai sebab turunnya keseluruhan Surat An-Naba'. Namun, beberapa riwayat mengindikasikan bahwa ayat-ayat awalnya turun dalam konteks perdebatan orang-orang Quraisy tentang kebenaran kebangkitan dan hari pembalasan.

Ibn Abbas meriwayatkan bahwa orang-orang Quraisy sering berkumpul dan membicarakan tentang Al-Qur'an dan klaim Nabi Muhammad SAW mengenai kebangkitan, dengan sikap mengejek dan meragukan. Beberapa bertanya, "Mungkinkah ini terjadi?" sementara yang lain bertanya, "Bagaimana mungkin tulang-belulang yang hancur dapat dihidupkan kembali?" Dalam konteks inilah ayat-ayat awal Surat An-Naba' diturunkan, menjawab langsung pertanyaan-pertanyaan skeptis tersebut.

Sebagai Kontra-Nilai Materialisme.

Dalam tradisi kenabian Islam, wahyu selalu hadir sebagai pembawa kabar sekaligus pendobrak paradigma dominan zamannya. Surat An-Naba' (Berita Besar), sebagai salah satu surat Makkiyah yang diturunkan pada periode awal, menampilkan inversi nilai yang radikal terhadap materialisme yang mengakar kuat dalam masyarakat. Pembukaan surat dengan pertanyaan retoris "'Amma yatasâ'alûn" (Tentang apakah mereka saling bertanya?) langsung mengarahkan perhatian pada "an-naba'il-'adhîm" (berita yang besar) yang menjadi perdebatan (QS. An-Naba' [78]: 1-2). Berita besar ini bukanlah tentang perolehan material atau kekuasaan duniawi, melainkan tentang realitas metafisik yang tidak dapat ditangkap oleh parameter-parameter materialisme.

Inversi nilai pertama yang disajikan surat ini terletak pada penggambaran penciptaan kosmik bukan sebagai komoditas yang dapat dimiliki, melainkan sebagai tanda-tanda (ayat) yang harus dibaca dan direnungkan. Rangkaian ayat "a lam naj'alil-ardla mihâdâ" (Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan) hingga "wa jannâtin alfâfâ" (dan kebun-kebun yang rindang) (QS. An-Naba' [78]: 6-16) membangun narasi penciptaan yang menunjukkan bahwa alam semesta adalah manifestasi kebesaran Ilahi, bukan objek eksploitasi materialistik. Dalam perspektif ini, bumi sebagai "mihâdâ" (hamparan) mengandung makna keterbukaan dan aksesibilitas universal, bukan kepemilikan eksklusif yang menjadi fondasi materialisme.

Surat ini kemudian memperkenalkan konsep "yaumal-fashli" (hari Keputusan) sebagai waktu yang telah ditetapkan (QS. An-Naba' [78]: 17), sebuah konsep yang frontal berhadapan dengan orientasi materialisme yang berfokus pada kekinian dan keduniawian. Gambaran dramatis tentang perubahan kosmik seperti "wa futiḫatis-samâ'u fa kânat abwâbâ" (Langit pun dibuka. Maka, terdapatlah beberapa pintu) dan "wa suyyiratil-jibâlu fa kânat sarâbâ" (Gunung-gunung pun dijalankan. Maka, ia menjadi seperti fatamorgana) (QS. An-Naba' [78]: 19-20) menampilkan dekonstruksi total atas stabilitas dan permanensi dunia material. Gunung yang menjadi fatamorgana adalah metafora kuat tentang ilusi stabilitas material yang diandalkan manusia.

Dimensi inversi nilai semakin menguat ketika surat ini menggambarkan konsekuensi bagi para pendurhaka. Ungkapan "lâ yadzûqûna fîhâ bardaw wa lâ syarâbâ, illâ ḫamîmaw wa ghassâqâ" (Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak pula mendapat minuman, selain air yang mendidih dan nanah) (QS. An-Naba' [78]: 24-25) menampilkan inversi total dari logika materialisme yang menganggap bahwa kesenangan dan kenyamanan dapat dibeli dengan kekayaan. Di hadapan konsekuensi akhir, semua privilese material menjadi tidak berdaya, sebuah pokok pikiran yang dirangkum dalam pernyataan mengenai orang-orang yang "lâ yarjûna ḫisâbâ" (tidak pernah mengharapkan perhitungan) (QS. An-Naba' [78]: 27).

Orientasi transaksional materialisme juga dibongkar tuntas dalam ayat "wa kulla syai'in aḫshainâhu kitâbâ" (Segala sesuatu telah Kami catat dalam kitab) (QS. An-Naba' [78]: 29), menunjukkan bahwa perhitungan ilahi bersifat komprehensif dan tidak dapat dimanipulasi oleh kalkulasi materialistik. Sementara itu, gambaran surga dengan "ḫadâ'iqa wa a'nâbâ" (kebun-kebun, buah anggur) (QS. An-Naba' [78]: 32) memang menggunakan metafora material, namun esensinya terletak pada ungkapan "lâ yasma'ûna fîhâ laghwaw wa lâ kidzdzâbâ" (Di sana mereka tidak mendengar percakapan yang sia-sia dan tidak pula perkataan dusta) (QS. An-Naba' [78]: 35), menegaskan bahwa nilai tertinggi bukanlah kenikmatan material, melainkan autentisitas dan kejujuran.

Puncak inversi nilai dalam surat ini terletak pada gambaran keheningan di hadapan otoritas ilahi: "lâ yatakallamûna illâ man adzina lahur-raḫmânu wa qâla shawâbâ" (Mereka tidak berbicara, kecuali yang diizinkan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan dia mengatakan yang benar) (QS. An-Naba' [78]: 38), sebuah antitesis dari paradigma materialistik yang menganggap bahwa kekayaan dan kekuasaan memberikan hak prerogatif untuk berbicara dan didengarkan. Kebenaran ucapan (shawâbâ), bukan kekuatan atau posisi pembicara, menjadi nilai tertinggi dalam hirarki nilai yang dibangun surat ini.

Ayat penutup surat ini menghadirkan inversi nilai paling radikal melalui ungkapan putus asa orang kafir: "yâ laitanî kuntu turâbâ" (Oh, seandainya saja aku menjadi tanah) (QS. An-Naba' [78]: 40). Tanah, elemen paling dasar dan "tidak berharga" dalam hierarki material, justru menjadi yang didambakan, menunjukkan inversi total nilai-nilai duniawi. Keinginan untuk "menjadi tanah" mengandung pengakuan implisit bahwa akumulasi material yang menjadi fokus kehidupan duniawi pada akhirnya tidak memiliki nilai intrinsik di hadapan realitas akhir.

Surat An-Naba' dengan demikian menghadirkan inversi kenabian yang menantang fondasi materialisme dari akarnya. "Berita besar" yang dibawanya adalah berita tentang struktur realitas yang melampaui kalkulasi materialistik. Melalui jalinan ayat yang saling berhubungan, surat ini membangun narasi tandingan yang mendekontruksi orientasi kepemilikan, akumulasi, dan transaksi material. Sebagai gantinya, surat ini menegaskan konsistensi spiritual, kesadaran akan tanda-tanda kosmik, dan orientasi pada kebenaran transendental sebagai nilai-nilai sejati yang tidak dapat diukur dengan parameter material apapun. Dalam perspektif ini, kenabian bukan sekadar membawa kabar tentang surga dan neraka, melainkan juga menawarkan pembebasan dari kungkungan materialisme yang menjauhkan manusia dari tujuan eksistensialnya sebagai hamba Allah.

Bagikan Artikel Ini
img-content
AW. Al-faiz

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

img-content

Gigi

Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
img-content

Surat

Kamis, 24 April 2025 20:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler